Dilema Guru Karena Sertifikasi - Masih ingat dengan lirik lagu tentang guru yang merupakan pahlawan tanpa tanda jasa? kalau saya tidak salah ingat, lagu itu berjudul Hymne Guru, diciptakan oleh Sartono pada tiga puluh tahun yang lalu. Lagu itu berkisah tentang pengabdian seorang guru, jasanya bak ibarat pelita, dan lagu itu ditutup dengan lirik: engkau patriot, pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa. Tapi, itu dulu. Kini guru-guru sedang berlomba-lomba mengejar sertifikasi.
UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Guru dan Dosen, memunculkan harapan baru untuk meningkatkan kemakmuran para guru dan dosen, terutama mereka yang tidak masuk dalam jajaran PNS. Para guru yang semenjak zaman orde baru
bergelut dengan kehidupan yang sangat sederhana, bahkan beberapa ada yang kekurangan, kini mendapatkan semilir angin segar dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Dalam UU Nomor 20 tahun 2003 itu, salah satu poinnya menyebutkan bahwa guru adalah sebuah profesi. Maka, sebuah profesi itu seharusnya mendapatkan penghasilan yang layak. Pendapatan yang sesuai dengan prinsip ke-profesioanlisme-an.
Nah, poin yang paling penting dalam UU tersebut ialah pada poin sertifikasi guru. Semua yang berprofesi sebagai guru, baik itu yang berlatar-belakang pendidikan atau bukan, harus disertifikasi dan sesuai dengan standar yang diinginkan pemerintah.
Sertifikasi guru merupakan sebuah tahapan yang harus dilalui untuk mendapatkan status profesional dari pemerintah. Denga mengantongi status profesional tersebut, maka nantiya para guru berhak mendapatkan tunjangan yang layak dari pemerintah, di luar gaji pokoknya sebagai guru. Dan belakangan, sertifkasi menjadi sorotan dari banyak pihak.
Akhirnya, mau tidak mau persaingan pun terjadi di antara guru. Kampus yang berbasis pendidikan seperti FKIP yang pada zaman orde baru sepi peminat, mendadak ramai dan penuh sesak diisi oleh para mahasiswa yang inginbekerja sebagai guru. Para guru yang belum S1 atau D4 beramai-ramai mengambil kuliah jalur cepat, dan parahnya tidak sedikit mereka yang kemudian memanipulasi data lama mengajar dan lain sebagainya. Persaingan di antara guru pun terjadi. Kini, dengan syarat mengajar sebanyak 24 jam sehari, para guru berlomba-lomba untuk mendapatkan jam. Tak pelak, proses gusur menggusur antara senior dan junior tidakll bisa dielakkan. Belum kecurangan kolektif yang kerap terjadi, kolusi sana-sini saat tawar menawar status sertifikasi.
Akan tetapi, yang paling menyedihkan adalah ternyata program sertifikasi guru tidak mampu mendongkrak keualitas para guru itu sendiri. Pemerintah secara simplikatif menarik eksimpulan bahwa dengan meningkatkan tunjangan para guru, maka akan meningkat pula kualitas pendidikan, terutama guru di Indonesia.
Azyurmadi Azra pernah mengatakan bahwa ada sebanyak 20% guru yang layak, 20% guru yang tidak sesuai, dan sebanyak 60% guru yang tidak layak. Ada pula beberapa kasus, yaitu guru yang telah selama pulihan tahun mengajar, namun gagal dalam proses sertifikasinya. Melihat fakta ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa peningkatan kesejahteraan belumlah bisa dijadikan sebagai tolok ukur tingkat keprofesionalitasan seorang guru.
Dalam hal ini, saya menilai keinginan pemerintah untuk memuliakan dan menyejahterakan guru, merupakan sesuatu yang sangat baik dan harus didukung. Karena guru adalah para pendidik generasi yang akan meneruskan estafet perjuangan bangsa. Hanya saja, pemerintah agaknya cenderung gegabah dalam sistem sertifikasi guru ini. Yang lebih aneh lagi adalah, pemerintah ngotot untuk membuat jutaan guru harus sudah tersertifikasi pada tahun 2012 ini. Dan pada tahun 2012 pula konon program sertifikasi akan ditiadakan.
Ke depan, pemerintah agaknya kian absurd dalam menentukan kebijakan. Yaitu, peningkatan kesejahteraan guru akan diproses melalui apa yang disebut dengan PLPG (Pendidikan Latihan Profesi Guru) dan para guru harus rela merogoh kantong untuk membayar biaya PLPG yang konon berkisar angka jutaan rupiah. Tentu saja, hal ini akan kian memberatkan para guru honorer yang bergaji kecil, guru-guru yang mengajar di pedalaman dan pelosok Indonesia.
Baiknya pemerintah membentuk sistem yang pas untuk bisa menyejahterakan guru. Proses sertifikasi, agaknya membuat guru menjadi lupa akan tugas mulianya, dan cenderung fokus agar mendapatkan status sertifikasi.
Tidak ada yang serba instan. Semuanya membutuhkan proses, termasuk dalam menigkatkan kualitas dan kep-profesioanlitasan para guru. Mustahil meningkatkan ke profesionalitasan guru dalam hanya waktu singkat. Semoga guru di Indonesia kian sejahtera dan kian berkualitas, dan selamat hari guru nasional. Jasamu tidak akan kami lupakan. Merdeka!
Sumber: http://blognya-kacau.blogspot.com/
Terima kasih penjelasannya tentang Guru Honorer yang cukup lengkap ini. Salam kenal...
ReplyDelete